Jumat, 29 Januari 2016

Edisi Studi Kolaboratif

Secuil Kisah tentang negeriku

Terbentang luas alam negeriku
Terhampar indah tetumbuhan hijau
Sedap dipandang menelisik kalbu
Hai Bung! Inilah tanahku!

            Langit disana tampak teduh menyapa
            Awan kelabu tergantung eloknya
            Rumput pun bergoyangan indah berirama
            Bak angin sore telah menjailinya
            Hai Bung! Inilah negeri tercinta!

Negeri rupawan dengan jutaan kekayaannya
Tak terkandung pula kandungan perut buminya
Laksana berlian yang berpendarkan cahaya
Tanpa banyak kata, ia akan terus rela
Menjalankan titah dari Yang Mahasempurna
Bersahaja demi kehidupan manusia

            Berharap negeri ini akan terus terawat
            Tapi apa pula kenyataannya?
            Tiada kata ‘setimpal’ antara pemberian dan balasan
            Bisa menangis sedu negeri ini, jika diizinkan Tuhan
            Menjerit pilu tanpa tahu harus bagaimana
            Tapi, apa pula lah yang dipikirkan-
oleh mereka—pemilik tangan-tangan kotor nan jahat di luar sana?


Rodhiyah N. Zulaikhoh
Selasa, 19 Januari 2016, 15:45 WIB

Kalianda, Lampung Selatan

Nightmare In Brongto #2

Part.02
Ia tertunduk, bersimpuh, dan mengerang kesakitan dengan suara lirihnya. Kecemasan tiba-tiba menyergahku. Apakah ini semua ada hubungannya dengan calon kamar yang akan kami tempati yang pada kenyataanya memang berada di paling pojok gedung?

“Eh?kenapa, Ann?” responku setelah melihat tindak-tanduknya yang seperti sedang menahan sesuatu yang pastinya tak mengenakkannya.
“kayaknya Anna lagi gak enak badan deh, diy.”jawab teman kamarku yang lain yang juga diliputi kecemasan.

Aku dan Vania pun memutuskan mengadukan hal ini kepada guru kami. sebelum semua pikiran negatif itu memang benar-benar akan terjadi, kami mencerocos dan menjelaskan secara mendetail mulai dari wacana tentang kamar 219 tersebut hingga pikiran-pikiran kami, bahkan perasaan yang kini sedang melanda Anna tersebut hingga menyebabkan badannya menjadi tidak nyaman.

Awalnya guru kami hanya memberikan dorongan positif atau sekadar sugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi, demi melihat wajah gugup dan air muka kami yang semakin tak karuan, singkat cerita setelah terjadi negoisasi dan pembicaraan yang lumayan alot, akhirnya beliau bersedia menukarkan kamar kami dengan kamar beliau. Yeah, finally.

Karena semua siswa sudah berangsur pergi ke kamar masing-masing sedari tadi, kini tinggallah kami bertiga yang berjalan perlahan menuju calon kamar pengganti di gedung yang sama dengan kamar yang sebelumnya. Perlahan, namun pasti akhirnya Aku, Anna, dan Vania pun sampai di depan kamar 212. Kamar ini tepat berada di tengah-tengah koridor dan langsung terlihat ketika kaki ini tepat mendarat di anak tangga terakhir menuju lantai dua.


‘grekk’. Vania membuka pintu kamar ini dengan mengucap basmalah. Dan Ahlan Wasahlan, inilah kamar baru kami. segera kumasukkan semua barang-barang ke dalam kamar. Kunyalakan dua lampu utama kamar ini. hmm, syukurlah menyala semua. Kami pun segera bergegas memeriksa kamar mandinya. Terlihat sebuah kaca besar, dua wastafel, sebuah bathube lengkap dengan tirainya, dan sebuah shower dengan fasilitas air dingin dan panas. 

Oke, lumayan bersih. Tapi ternyata, tak lama setelah itu terjadi masalah kecil karena lampu kamar mandi kamar mandi kami padam. Yep, malam pertma kami disambut dengan padamnya lampu ini. tapi bukan masalah besar karena teknisi segera datang memperbaiki keadaan. Malam pertama ini kami lewati layaknya para siswa yang lain. bercerita sambil makan snack, menjaili teman dengan menelepon kamarnya, menonton acara televisi, tertawa bersama hingga akhirnya mengantarkan kami ke alam mimpi malam pertama di Yogyakarta. Namun esoknya, semuanya mulai terasa aneh (menurut kami)...

Senin, 25 Januari 2016

Saudara Kembar Kita

Dalam kehidupan fana ini, terkadang manusia melupakan ‘satu’ hal sakral yang seharusnya kita persiapkan sejak awal, sedari dini. Satu hal yang nantinya menjadi pintu gerbang yang akan mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih abadi setelah ini. secara teoritis, ‘sesuatu’ tersebut sangatlah dekat dengan kehidupan kita, bahkan hanya sejarak urat nadi dan pergelangan tangan. Dekat sekali bukan?  Kata guru tercinta, dia selalu menyertai dimana pun kita berada, terus mengintai kita kemanapun kaki melangkah. Sekuat apapun kita menghindar ataupun menjauhinya, tetap tak akan mampu menafikkannya walau hanya sedetik.


Namun dalam realitanya, gemerlapnya panggung sandiwara ini memang sedikit banyak telah menggelapkan mata-mata manusia akan kehadiran ‘sosok’ yang pasti akan mendatangi kita ini. Pasti. Cepat atau lambat, ‘ia’ akan datang sesuai titah Tuhannya. Menjeput kita—yang mungkin saja tidak pernah mengetahui dan menyadari bahwa sosoknya mungkin hanya sejengkal jauhnya dari ubun-ubun—untuk menuju kehidupan yang jauh lebih baqa setelah ini.  sudah sadarkah engkau siapa atau apakah sosok tersebut? Benar, itulah dia. Kau benar wahai manuisa. Tetapi jika jua belum mengerti, maka ingatkah engkau akan firman suci pemilik kerajaan langit dan bumi ini, “Kullu nafsin dzaaiqatul mauut...”—al-ayat

Ya, dialah ‘kematian’ wahai anak Adam. Sebagian orang pula menyebutnya sebagai ‘ajal’. Sosok itulah yang akan selalu terus bersama kita dimanapun dan kapanpun. Tentu banyak insan berakal di dunia ini yang mengetahui bahwa sesungguhnya pastilah jiwa lemah ini akan kembali ke sisi-Nya, bukan? Mulai dari kaum proletar hingga priyayi, apalagi mereka—kalangan yang berpendidikan, pastilah tau akan hal yang sejatinya memang tak dapat dicegah ini. kembali saya teringat akan tausiyah—yang lebih cocok saya sebut sebagai reminder atau pengingat—seorang syaikh di majlis pekan ini, beliau menuturkan bahwa sungguh kematian itu pasti adanya, dan sebagai manuisa yang pasti akan didatanginya, kita harus mempersiapkan hal tersebut. Dan bisa dikatakan, setidaknya kita harus mengingat akan relalisasi kedatangannya.

Lantas, mengapa pula kita harus repot-repot mempersiapkannya? Tentu pertanyaan ini terdengar retoris bagi kalangan yang sudah mengetahui dan paham betul perihal adanya konsep yaumul hisab dan yaumul jaza’-Nya. Bayangkanlah! Tatkala manusia kelak dicabut nyawanya seiring kematian itu menjemputnya, setelah mengalami proses yang bisa jadi mudah, namun tak sedikit juga yang merasa tersiksa tersebut, jiwa atau ruh manusia yang telah terpisah dari raganya tentu tak akan kembali lagi, lantas beraktivitas layaknya biasanya, bukan? –kecuali atas izin-Nya. Harta, tahta, pangkat, jabatan, keluarga, atau kenikmatan duniawi lainnya tentunya tidak akan terbawa ke alam yang terbatasi oleh pintu kematian tersebut. Tak ada yang berguna, tak ada yang terangkut atau tersangkut bersama ruh manuisa jika sudah berada di alam tersebut.


Oleh karena hal tersebut, sudah sepantasnya bahkan sewajibnya manusia harus mempersiapkannya sejak awal. Selain karena faktor adanya konsep kehidupan yang lebih abadi setelah ini, telah dijelaskan di awal pula bahwa kematian itu datang tak diundang. Menghampiri jiwa raga manusia yang telah dikehendaki-Nya, menjemput ruh yang seharusnya memang akan kembali lagi kepada penciptanya. Sudah gamblang bukan, jawabn atas pertanyaan yang mungkin terdengar agak retoris tadi. Selalu menyertai kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Pasti kedatangannya, tetapi kita tidak tahu menahu kapan pula waktunya. Itulah mengapa kematian ini dapat kita panggil sebagai ‘saudara kembar’ kita, yang haruslah kita sambut kedatangannya dengan sambutan dan persiapan yang sebaik-baiknya.

Jumat, 25 Desember 2015

Nightmare in Brongto

Ehm, cek. Ya kali ini saya mungkin akan memberikan sedikit relaksasi kepada kalian para pembaca. *hooree. Biar nggak terlalu bosan dengan cerita atau tulisan saya yang mungkin agak kaku, mungkin. Jadi anggap aja ini intermeso kecil untuk para pembaca sekalian. Mungkin sebenarnya cerita ini tidak seseram yang dibayangkan, Lebih tepatnya, tidak semenakutkan judulnya sih.jadi bagi yang tidak percaya dengan halusinasi,  tidak apalah menganggap tulisan ini hanya wacana atau narasi biasa saja, untuk yang percaya cobalah berinteraksi dengan mereka karena sesungguhnya mereka sama-sama ciptaan Tuhan yang MahaKuasa. Hehehe. Oke,langsung aja ya.....

Part.01
Cerita ini bermula, berawal atau lebih tepatnya terjadi sekitar akhir bulan Februari 2015,  ketika sekolah saya tercinta mengadakan studi kolaboratif atau biasa kalian sebut berwisata, karya, wisata, rekreasi atau apalah terserah ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti sebelumnya, kegiatan semacam ini dipastikan akan berlangsung selama lebih dari dua hari. Jadi pastilah kami akan menginap di penginapan, ataupun hotel, atau bahkan villa. Tepat dua hari sebelum hari keberangkatan, kami—para siswa kelas XI, dibagi menjadi beberapa kelompok kerja. Selain kelompok kerja yang berfungsi mengerjakan tugas-tugas yang akan diberikan tersebut, dibentuk pula kelompok kamar dimana satu kelompok tersebut berarti akan menempati satu kamar yang sama nantinya. Sewajarnya sebagai seorang manusia (yang selalu kepo), saya pun agak penasaran dengan siapa nantinya saya akan bermalam disana. Dan alhamdulillah, Anna dan Vania pun terpilih menjadi teman seperjuangan saya nantinya menempati kamar baru. Yeay. Hari-H keberangkatan stukol (studi kolaboratif) kami pun akhirnya tiba. Berbagai perasaan pun menyelimuti dan ikut menelisik masuk kalbu*asiik. Termasuk saya yang sejujurnya memiliki perasaan senang, bahagia, tapi agak males sebenernya. Hehehe. 

Singkat cerita, rombongan kami pun akhirnya sampai juga di tempat tujuan setelah melewati berbagai halangan dan rintangan yang tak hentinya menghadang selama kurang lebih empat belas jam sepanjang perjalanan Serpong-Yogyakarta. Dan inilah kota yang disebut-sebut sebagai kota pelajar sekaligus kota yang masih sangat mempertahankan adat keraton. Yap, Welcome to Yogyakarta! Sugeng Rawuh ing Ngayogjokarto!

Sesampainya disana kami tidak langsung menempati hotel, tapi istirahat dan langsung menuju tempat wisata kami yang pertama. jadilah kami terus bertanya-tanya sepanjang perjalanan seperti apakah ‘Hotel Brongto’ tersebut. Hingga keramaian dan beberapa keributan kecil pun mewarnai langit-langit bus yang saya tumpangi. Satu dua siswa saling berbisik. Tapi, ada juga beberapa siswa laki-laki yang dengan vulgarnya berbicara lantang tentang isu keseraman hotel ini, bahkan sangat jelas menyebutkan nomor kamarnya. Dan asal kau tahu, itu nomor kamarku. baiklah, walaupun mendengarnya tapi aku tidak akan menyimpannya dalam memori otakku. That’s just an issue, i think.
Melupakan kejadian yang terjadi di bus tadi siang, tapi sebagian hati kecil ku pun agaknya memprotes karena sebenarnya aku juga pernah melihat sendiri beritanya di internet. Tapi kemungkinan besar itu hanya sebuah wacana tenang keseraman kamar demi melejitkan nama sang pengunjung hotel. 
Oke, semuanya seakan semaki  terasa karena disinalh sekarang kami berada. Setelah bus terparkir rapi, terlihat samar tulisan besar bertuliskan “Hotel Brongto” tertanam gagah di sebelah gerbang masuk. Dengan menarik-narik koper kecil berisi pakaian dan berbagai perbekalan lainnya, kami pun berbondong-bondong memasuki area hotel brongto. Suasana malam yang agaknya dingin menyapa lembut setiap pengunjung. Aroma mistis Kejawa-Jawaan segera menguar di halaman hotel ini. arsitektur bangunan hingga tempat resepsionisnya pun sangat kental dengan budaya Jawa. Yah, namanya juga di Jogja, pikirku. 

Kami pun segera mengantre untuk mengambil kunci kamar di resepsionis. Segera ku menata pikiranku dan memenuhinya dengan berbagai pikiran positif demi mengusir prasangka buruk yang tiba-tiba saja muncul tak diundang. Hingga sesuatu pun terjadi pada temanku di halaman yang luasnya kira-kira dua puluh meter persegi ini, di tengah tengah para siswa yang telihat mulai lelah disini, tiba-tiba saja......

Minggu, 15 November 2015

Maka Bertasbihlah

Identitas buku:
Judul buku      : Bahkan Jagat Raya pun Bertasbih
Penulis         : Dr. Ahmad Syawqi Ibrahim
Penerbit        : Serambi Ilmu Semesta
Tahun terbit    : 2006
Tebal buku      : 307 halaman


Allah adalah nama teragung diantara nama-nama-Nya yang lain. Keindahan dari segi makna maupun bahasa tiada yang dapat membandingi nama termulia tersebut. Jika kita menyebutkan nama “Allah”, maka hal tersebut telah mewakilkan ke-99 nama-Nya yang lain. Berbeda jika kita menyebut dengan kata ‘Al-Hakim’ ataupun ‘Ar-Rahman’, maka hal tersebut tidak menyebutkan dan mengatakan juga bahwa Allah bersifat ‘Al-Ghofur’. Oleh karena itu, Sungguh betapa agung dan mulianya nama Allah tersebut.

Kalimat thayyibah pertama yang dibahas dalam buku ini adalah kata Alhamdulillah, dimana kalimat ini berarti mengandung pujian, tasbih, sekaligus syukur kepada Allah. jika mengucapkan Alhamdulillah sebagai bentuk pujian kita kepada Allah, maka dalam waktu tersebut, selain dijauhkannya dari bencana, kita juga telah mengucapkan terima kasih atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya (bersyukur)

Selain membahas kalimat Alhamdulillah yang merupakan kalimat paling utama diantara kalimat-kalimat thayyibah yang lain—menurut sebuah hadits, sesuai dengan judul buku ini, dibahas pula tasbih, keutamaan, hingga bentuk tasbih-tasbih makhluk Allah SWT yang tak diketahui banyak manusia. Bertasbih berarti menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Subhanallah wa bihamdihi, subhanallah hil adzim merupakan dua kalimat yang ringan untuk diucapkan, tetapi memiliki banyak pahala. Selain dengan ucapan, puncak atu dari inti tasbih yang sebenarnya adalah shalat. Maka ketika shalat, hendaklah kita memfokuskan diri dan menyadari bahwa pada saat itu kita sedang bertasbih dan bersujud langsung dihadapan Allah. Dalam firman-Nya, QS Al-hijr: 98-99, Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk segera bertasbih, hal ini diartikan agar kita bergegas untuk shalat, karena shalat merupakan puncak tasbih. 

Dalam QS. Al-Hasyr:1 dan Al-Isra:44, Allah berfirman bahwa segala apa yang ada di langit dan di bumi semuanya bertasbih kepada Allah SWT. Diartikan pula bahwa tasbih ini berarti menyucikan Allah pada masa lampau, sekarang, maupun yang akan datang. Disebutkan bahwa semuanya, tidak ada satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya, berati keadaan jagat raya akan selamaya bertasbih kepada Allah. Terus menerus dan tidak akan pernah terputus. Makhluk Allah baik hidup maupun mati, baik bergerak maupun tidak, semuanya akan terus bertasbih kepada-Nya dengan cara yang berbeda-beda dan kebanyakan tasbih mereka tidak dipahami oleh manusia—disebutkan dalam Al-Quran.

Itulah fitrah penciptaan makhluk Allah, dimana jika mereka berhenti bertasbih kepada-Nya, maka eksistensi mereka akan hilang karena tidak terpenuhinya fitrah mereka tersebut. Dalam empat bab terakhir buku ini, diungkap satu persatu bentuk tasbih makhluk ciptaan Allah mulai dari yang hidup hingga yang mati.  Mulai dari tasbihnya para malaikat yang senatiasa beribadah kepada Allah, hingga tata surya dan burung-burung yang selalu bergerak, berotasi, dan berevolusi sebagai bentuk tasbih mereka kepada sang pencipta.

Gaya bahasa yang digunakan oleh penulis dalam buku ini adalah gaya bahasa formal dengan beberapa diksi kata  ilmiah. Kelebihan yang dimilki buku ini diantaranya adalah penjabaran tiap masalah yang ada dengan disertai kutipan langsung dari Alquran dan dalil-dalil lainnya. selain ayat-ayat qauliyah tersebut, disebutkan pula ayat atau dalil kauniyah yang didasarkan pada sains dan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menjadikan buku ini menjadi akurat dan menjadikan pembaca menjadi lebih yakin dengan apa yang sedang dibahas tiap-tiap babnya.

Selain memiliki kelebihan, buku non fiksi ini juga memiliki kekurangan. Yakni diantaranya adalah dalam segi visualisasi masalahnya. Gambar yang disajikan kurang menarik dan tidak berwarna sehingga memiliki kesan bahwa gambar dan tulisan kurang memiliki korelasi yang pas. Seperti gambar burung yang ada, kurang terlihat nyata sebagaimana mestinya. Selain itu, sebagai buku yang pembahsannya terkait dengan agama, buku ini tidak menuliskan ayat ataupun kutipan kata dalam Alquran dam bnetuk tulisan arab. Semuanya dituliskan dalam dalam abjad anpa penyertaan tulisan arab sedikit pun. Hal ini kadang membuat bingung para pembaca yang sudah terbiasa membaca bacaan ayat alquran dalam tulisan arab sebagaimana mestinya.

Sebagai penutupnya, manfaat yang bisa diambil oleh para pembaca setelah membaca buku ini adalah kembali tersadar dan mengingat bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih berkuasa selain Allah SWT. Selain itu, pembaca juga akan lebih mengetahui tetang pentingnya memuji dan bertasbih kepada Allah karena sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia memiliki fitrah untuk terus bertasbih dan bersujud kepada Allah. Selain kesadaran yang diperoleh, banyak juga pengetahuan baru yang berdasar pada ayat Alquran dan dalil sains yang dapat pembaca peroleh setelah membaca buku ini. Karena banyak peristiwa alam tersembunyi yang kadang terlupakan oleh manusia yang diungkap dan digambarkan secara jelas dalam buku ini.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa semua elemen dan makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini semuanya bertasbih, bersujud, dan memujikan nama Allah SWT. Tidak ada satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya karena hal tersebut merupakan fitrah penciptaan makhluk. Oleh karena itu, sebagai salah satu dari makhluk Allah yang juga memiliki fitrah tersebut, sudah sepatutnya kita juga selalu menyucikan nama-Nya melalui tasbih yang selalu terlantunkan baik secara lisan maupun perbuatan.


Author copyright @ Rodhiyah N. Zulaikhoh

Senin, 02 November 2015

Mutiara Nusantara yang Terlupakan


ABDUL KAHAR MUDZAKIR,
Mutiara Nusantara yang Terlupakan

Abdul Kahar Muzakir adalah seorang Tokoh nasional gerakan Muhammadiyah Kotagede. Lahir di Kota Gading Yogyakarta pada tanggal 16 April 1907, putera H. Muzakkir (seorang pedagang terhormat di Kota-Gede). Ibunya adalah puteri satu-satunya dari lima bersaudara keluarga H. Mukmin. Salah seorang saudara ibunya yaitu H. Masyhudi tokoh yang terkenal di Kotagede pada saat itu, karena ikut serta membentuk lahirnya organisasi Muhammadiyah di Kotagede. Beliau memulai pendidikannya di SD Muhammadiyah di Selakraman Kotagede, dan dilanjutkan ke Ponpes Gading dan Krapyak untuk memperdalam ilmu agama. Tidak cukup dengan satu pesantren, Kahar Muzakir juga melanjutkan pendidikannya di Ponpes Jamsaren Solo sambil belajar di Madrasah Mambaul Ulum. Karena lingkungan dan keluarga yang telah membentuk beliau menjadi prbadi yang agamais, maka wajar jika pemahaman dan kecintaan keislaman beliau telah mengakar kuat. 

Selain pendidikan di luar negeri, Kahar Muzakir juga mengenyam pendidikan di Kairo mulai tahun 1924 hingga tahun 1927 dan menyongsong indonesia merdeka melalui efektifitas gerakan Pelajar Indonesia di Kairo. Beliau juga pernah mengikuti Muktamar Islam Internasional di Palestina dan memperkenalkan Indonesia pada utusan dari negara-negara lain. pada tahun 1938, Kahar Muzakir terpilih menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia Raya yang merupakan organisasi politik. Banyak tokoh luar negeri yang menaruh simpati pada beliau karena kiprah beliau dalam dunia keislaman.  Sepulang dari Mesir, Kahar Muzakir memulai dunia organisasi politik dan dakwah di tanah air. Pergerakan politik beliau lakukan melalui Partai Islam Indonesia bersama-sama dengan Prof. Dr. H.M Rasyidi, KH. Mansoer, Prof. KH. Faried Ma’aroef, Mr. Kasmat Bahuwinangun, dan Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Sedangkan dalam gerakan keislaman, Kahar Muzakir sangat aktif menjadi pengurus hingga Direktur Muallimin organisasi Muhammadiyah.

Dalam bidang pemerintahan, Kahar pernah menduduki Jawatan Ekonomi Pemerintahan Militer, pegawai sipil Jawatan Siaran Radio Militer, hingga komentator luar negeri di Markas Besar Tentara dan Jawatan Kementerian Agama. Keikutsertaan Kahar Muzakir dalam kancah politik negeri memuncak melalui partisipasinya dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia ditandai dengan keterlibatan beliau sebagai salah satu dari 62 anggota BPUPKI yang merupakan sebuah badan bentukan Jepang yang dibentuk pada 29 April 145 dan diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Kahar Muzakir memiliki gagasan kemerdekaan dan dasar negara demi kemedekaan bangsa Indonesia dan ikut mencanangkan tonggak sejarah dalam proses perumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta. Dalam sidang BPUPKI, Kahar Muzakir gencar mengusulkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia Merdeka. Hal ini sangat menunjukkan kecintaan Kahar Mudzakir pada Islam dan Indonesia. Karena wakil golongan islam yang berjumlah lima belas orang tidak sejalan dengan kaum nasionalis yang menginginkan pancasila sebagai dasar negara, akhirnya tidak tercapai konsensus mengenai dasar negara Indonesia merdeka. 

Akhirnya, dibentukalah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir.Soekarno, dan Kahar Mudzakir merupakan salah sau anggotanya. Pada sidang tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil melahirkan Piagam Jakarta yang merupakan ruh dan naskah otentik pembukaan UUD 1945. Terkait piagam Jakarta, terdapat kontroversi mengenai tujuh kata yang berbunyi “... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Kahar Mudzakir sebagai seorang Muhamdiyah dan Abdul Wahid Hasjim (NU) merupakan dua tokoh yang berjuang keras agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut tetap dipertahankan. Namun setelah terjadi perdebatan yang panjang, akhirnya dua tokoh tersebut setuju agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihilangkan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Menurut Soepomo, diterimanya Pancasila sebagai dasar negara bukan merupakan bentuk kekalahan diplomasi internal, melainkan bentuk tanggung jawab moral umat Islam dalam menjaga keutuhan NKRI.selain itu, Alamsyah Ratu Prawiranegara, ketika menjadi Menteri Agama era 80-an menyatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat islam kepada bangsa dan negara Indonesia. Demikianlah kiprah Abdul Kahar Muzakir dalam dunia politik dan kenasionalan Indonesia. 

Dalam hal pendidikan, Kahar merupakan tokoh yang sangat peduli terhadap hal tersebut. Hal ini sudah mulai nampak ketika pulang dari Kairo, Kahar memilih untuk menjadi guru di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ia kemudian mendirikan sekaligus menjadi direktur pertama (1958-1960) Akademi Tabligh Muhammadiyah yang merupakan cikal bakal Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)beliau merupakan seorang  pendiri dan pengembang perguruan tinggi Islam. Bersama dengan Dr. Moh. Hatta, Moh. Natsir, Moh. Roem, dan KH. Wahid Hasyim, beliau juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam pada tanggal 8 Juli 1945 (27 Rajab 1364 H) di Jakarta. Kahar mengembangkan STI sebagai pusat pengembangan pendidikan yang bercorak nasionalis dan Islamis. Pada saat diresmikan oleh Presiden Soekarno, STI merupakan satu-satunya perguruan tinggi Islam di Indonesia hingga  kemudian namanya diubah menjadi Universitas Islam Indonesia pada tahun 1946. Pada saat menjabat sebagai Rektor Pertama UII, sebenarnya beliau pernah ditawari untuk menduduki jabatan politik, tetapi beliau menolaknya. Kahar Muzakir memilih untuk mengabdikan diri untuk mengembangkan Universitas Islam. 

Hingga akhir hayatnya Kahar mengabdikan dirinya untuk pendidikan dan memilih meninggalkan hingar bingar dunia politik. Saat itu Kahar melihat bahwa sudah cukup banyak tokoh-tokoh yang berjuang di bidang politik, sehingga ia memilih berjuang di bidang pendidikan dengan tujuan melahirkan generasi-generasi unggul yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Kahar Mudzakir wafat pada tanggal 2 Desember 1973 dengan memberikan banyak warna dalam ranah perjuangan keislaman dan penddikan di Tanah air dan meninggalkan banyak kenangan bagi masyarakat Yogyakarta, UII, Muhammadiyah, dan bangsa Indonesia. 

Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa Abdul Kahar Mudzakir merupakan seorang tokoh Nasionalis Islam yang banyak memberikan jasa-jasa besar dan kontribusi yang sangat berharga bagi Indonesia dan pengembangan Islam melalui Universitas Islam Indonesia. Dilihat dari pengabdian dan kiprahnya di UII, Kahar Muzakir memiliki sikap yang sederhana, tulus berjuang, taat beribadah, dan tidak rakus dengan jabatan politik. Dengan demikian, sudah sepatutnya kita menghargai dan menghormati jasa Abdul Kahar Muzakir dengan mengisi kemerdekaan dan pembangunan negara ini dengan sebaik-sebaiknya sebagaimana cita-cita yang ingin beliau capai terkait dengan bangsa dan negara Indonesia.

Author: Rodhiyah N.Zulaikhoh

Sumber:
http://seminar.uii.ac.id/kahar-mudzakkir/index.php/latar-belakang.html
http://caraksara.blogspot.co.id/2011/11/prof-kh-abdul-kahar-mudzakkir-19071973.html
https://sbfreak2five.wordpress.com/2014/10/01/biografi-abdul-kahar-moezakir-2/