Senin, 25 Januari 2016

Saudara Kembar Kita

Dalam kehidupan fana ini, terkadang manusia melupakan ‘satu’ hal sakral yang seharusnya kita persiapkan sejak awal, sedari dini. Satu hal yang nantinya menjadi pintu gerbang yang akan mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih abadi setelah ini. secara teoritis, ‘sesuatu’ tersebut sangatlah dekat dengan kehidupan kita, bahkan hanya sejarak urat nadi dan pergelangan tangan. Dekat sekali bukan?  Kata guru tercinta, dia selalu menyertai dimana pun kita berada, terus mengintai kita kemanapun kaki melangkah. Sekuat apapun kita menghindar ataupun menjauhinya, tetap tak akan mampu menafikkannya walau hanya sedetik.


Namun dalam realitanya, gemerlapnya panggung sandiwara ini memang sedikit banyak telah menggelapkan mata-mata manusia akan kehadiran ‘sosok’ yang pasti akan mendatangi kita ini. Pasti. Cepat atau lambat, ‘ia’ akan datang sesuai titah Tuhannya. Menjeput kita—yang mungkin saja tidak pernah mengetahui dan menyadari bahwa sosoknya mungkin hanya sejengkal jauhnya dari ubun-ubun—untuk menuju kehidupan yang jauh lebih baqa setelah ini.  sudah sadarkah engkau siapa atau apakah sosok tersebut? Benar, itulah dia. Kau benar wahai manuisa. Tetapi jika jua belum mengerti, maka ingatkah engkau akan firman suci pemilik kerajaan langit dan bumi ini, “Kullu nafsin dzaaiqatul mauut...”—al-ayat

Ya, dialah ‘kematian’ wahai anak Adam. Sebagian orang pula menyebutnya sebagai ‘ajal’. Sosok itulah yang akan selalu terus bersama kita dimanapun dan kapanpun. Tentu banyak insan berakal di dunia ini yang mengetahui bahwa sesungguhnya pastilah jiwa lemah ini akan kembali ke sisi-Nya, bukan? Mulai dari kaum proletar hingga priyayi, apalagi mereka—kalangan yang berpendidikan, pastilah tau akan hal yang sejatinya memang tak dapat dicegah ini. kembali saya teringat akan tausiyah—yang lebih cocok saya sebut sebagai reminder atau pengingat—seorang syaikh di majlis pekan ini, beliau menuturkan bahwa sungguh kematian itu pasti adanya, dan sebagai manuisa yang pasti akan didatanginya, kita harus mempersiapkan hal tersebut. Dan bisa dikatakan, setidaknya kita harus mengingat akan relalisasi kedatangannya.

Lantas, mengapa pula kita harus repot-repot mempersiapkannya? Tentu pertanyaan ini terdengar retoris bagi kalangan yang sudah mengetahui dan paham betul perihal adanya konsep yaumul hisab dan yaumul jaza’-Nya. Bayangkanlah! Tatkala manusia kelak dicabut nyawanya seiring kematian itu menjemputnya, setelah mengalami proses yang bisa jadi mudah, namun tak sedikit juga yang merasa tersiksa tersebut, jiwa atau ruh manusia yang telah terpisah dari raganya tentu tak akan kembali lagi, lantas beraktivitas layaknya biasanya, bukan? –kecuali atas izin-Nya. Harta, tahta, pangkat, jabatan, keluarga, atau kenikmatan duniawi lainnya tentunya tidak akan terbawa ke alam yang terbatasi oleh pintu kematian tersebut. Tak ada yang berguna, tak ada yang terangkut atau tersangkut bersama ruh manuisa jika sudah berada di alam tersebut.


Oleh karena hal tersebut, sudah sepantasnya bahkan sewajibnya manusia harus mempersiapkannya sejak awal. Selain karena faktor adanya konsep kehidupan yang lebih abadi setelah ini, telah dijelaskan di awal pula bahwa kematian itu datang tak diundang. Menghampiri jiwa raga manusia yang telah dikehendaki-Nya, menjemput ruh yang seharusnya memang akan kembali lagi kepada penciptanya. Sudah gamblang bukan, jawabn atas pertanyaan yang mungkin terdengar agak retoris tadi. Selalu menyertai kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Pasti kedatangannya, tetapi kita tidak tahu menahu kapan pula waktunya. Itulah mengapa kematian ini dapat kita panggil sebagai ‘saudara kembar’ kita, yang haruslah kita sambut kedatangannya dengan sambutan dan persiapan yang sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar: