Dalam kehidupan fana ini,
terkadang manusia melupakan ‘satu’ hal sakral yang seharusnya kita persiapkan
sejak awal, sedari dini. Satu hal yang nantinya menjadi pintu gerbang yang akan
mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih abadi setelah ini. secara
teoritis, ‘sesuatu’ tersebut sangatlah dekat dengan kehidupan kita, bahkan
hanya sejarak urat nadi dan pergelangan tangan. Dekat sekali bukan? Kata guru tercinta, dia selalu menyertai
dimana pun kita berada, terus mengintai kita kemanapun kaki melangkah. Sekuat apapun
kita menghindar ataupun menjauhinya, tetap tak akan mampu menafikkannya walau
hanya sedetik.

Namun dalam realitanya, gemerlapnya panggung
sandiwara ini memang sedikit banyak telah menggelapkan mata-mata manusia akan
kehadiran ‘sosok’ yang pasti akan mendatangi kita ini. Pasti. Cepat atau
lambat, ‘ia’ akan datang sesuai titah Tuhannya. Menjeput kita—yang mungkin saja
tidak pernah mengetahui dan menyadari bahwa sosoknya mungkin hanya sejengkal
jauhnya dari ubun-ubun—untuk menuju kehidupan yang jauh lebih baqa setelah
ini. sudah sadarkah engkau siapa atau
apakah sosok tersebut? Benar, itulah dia. Kau benar wahai manuisa. Tetapi jika jua
belum mengerti, maka ingatkah engkau akan firman suci pemilik kerajaan langit
dan bumi ini, “Kullu nafsin dzaaiqatul mauut...”—al-ayat
Ya, dialah ‘kematian’ wahai anak
Adam. Sebagian orang pula menyebutnya sebagai ‘ajal’. Sosok itulah yang akan
selalu terus bersama kita dimanapun dan kapanpun. Tentu banyak insan berakal di
dunia ini yang mengetahui bahwa sesungguhnya pastilah jiwa lemah ini akan
kembali ke sisi-Nya, bukan? Mulai dari kaum proletar hingga priyayi, apalagi
mereka—kalangan yang berpendidikan, pastilah tau akan hal yang sejatinya memang
tak dapat dicegah ini. kembali saya teringat akan tausiyah—yang lebih cocok
saya sebut sebagai reminder atau pengingat—seorang syaikh di majlis pekan ini,
beliau menuturkan bahwa sungguh kematian itu pasti adanya, dan sebagai manuisa
yang pasti akan didatanginya, kita harus mempersiapkan hal tersebut. Dan bisa
dikatakan, setidaknya kita harus mengingat akan relalisasi kedatangannya.
Lantas, mengapa pula kita harus
repot-repot mempersiapkannya? Tentu pertanyaan ini terdengar retoris bagi
kalangan yang sudah mengetahui dan paham betul perihal adanya konsep yaumul
hisab dan yaumul jaza’-Nya. Bayangkanlah! Tatkala manusia kelak
dicabut nyawanya seiring kematian itu menjemputnya, setelah mengalami proses
yang bisa jadi mudah, namun tak sedikit juga yang merasa tersiksa tersebut,
jiwa atau ruh manusia yang telah terpisah dari raganya tentu tak akan kembali
lagi, lantas beraktivitas layaknya biasanya, bukan? –kecuali atas izin-Nya. Harta,
tahta, pangkat, jabatan, keluarga, atau kenikmatan duniawi lainnya tentunya
tidak akan terbawa ke alam yang terbatasi oleh pintu kematian tersebut. Tak ada
yang berguna, tak ada yang terangkut atau tersangkut bersama ruh manuisa jika
sudah berada di alam tersebut.
Oleh karena hal tersebut, sudah sepantasnya
bahkan sewajibnya manusia harus mempersiapkannya sejak awal. Selain karena
faktor adanya konsep kehidupan yang lebih abadi setelah ini, telah dijelaskan
di awal pula bahwa kematian itu datang tak diundang. Menghampiri jiwa raga
manusia yang telah dikehendaki-Nya, menjemput ruh yang seharusnya memang akan
kembali lagi kepada penciptanya. Sudah gamblang bukan, jawabn atas pertanyaan
yang mungkin terdengar agak retoris tadi. Selalu menyertai kita, tetapi kita
tidak menyadarinya. Pasti kedatangannya, tetapi kita tidak tahu menahu kapan
pula waktunya. Itulah mengapa kematian ini dapat kita panggil sebagai ‘saudara
kembar’ kita, yang haruslah kita sambut kedatangannya dengan sambutan dan
persiapan yang sebaik-baiknya.