Jumat, 29 Januari 2016

Edisi Studi Kolaboratif

Secuil Kisah tentang negeriku

Terbentang luas alam negeriku
Terhampar indah tetumbuhan hijau
Sedap dipandang menelisik kalbu
Hai Bung! Inilah tanahku!

            Langit disana tampak teduh menyapa
            Awan kelabu tergantung eloknya
            Rumput pun bergoyangan indah berirama
            Bak angin sore telah menjailinya
            Hai Bung! Inilah negeri tercinta!

Negeri rupawan dengan jutaan kekayaannya
Tak terkandung pula kandungan perut buminya
Laksana berlian yang berpendarkan cahaya
Tanpa banyak kata, ia akan terus rela
Menjalankan titah dari Yang Mahasempurna
Bersahaja demi kehidupan manusia

            Berharap negeri ini akan terus terawat
            Tapi apa pula kenyataannya?
            Tiada kata ‘setimpal’ antara pemberian dan balasan
            Bisa menangis sedu negeri ini, jika diizinkan Tuhan
            Menjerit pilu tanpa tahu harus bagaimana
            Tapi, apa pula lah yang dipikirkan-
oleh mereka—pemilik tangan-tangan kotor nan jahat di luar sana?


Rodhiyah N. Zulaikhoh
Selasa, 19 Januari 2016, 15:45 WIB

Kalianda, Lampung Selatan

Nightmare In Brongto #2

Part.02
Ia tertunduk, bersimpuh, dan mengerang kesakitan dengan suara lirihnya. Kecemasan tiba-tiba menyergahku. Apakah ini semua ada hubungannya dengan calon kamar yang akan kami tempati yang pada kenyataanya memang berada di paling pojok gedung?

“Eh?kenapa, Ann?” responku setelah melihat tindak-tanduknya yang seperti sedang menahan sesuatu yang pastinya tak mengenakkannya.
“kayaknya Anna lagi gak enak badan deh, diy.”jawab teman kamarku yang lain yang juga diliputi kecemasan.

Aku dan Vania pun memutuskan mengadukan hal ini kepada guru kami. sebelum semua pikiran negatif itu memang benar-benar akan terjadi, kami mencerocos dan menjelaskan secara mendetail mulai dari wacana tentang kamar 219 tersebut hingga pikiran-pikiran kami, bahkan perasaan yang kini sedang melanda Anna tersebut hingga menyebabkan badannya menjadi tidak nyaman.

Awalnya guru kami hanya memberikan dorongan positif atau sekadar sugesti bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi, demi melihat wajah gugup dan air muka kami yang semakin tak karuan, singkat cerita setelah terjadi negoisasi dan pembicaraan yang lumayan alot, akhirnya beliau bersedia menukarkan kamar kami dengan kamar beliau. Yeah, finally.

Karena semua siswa sudah berangsur pergi ke kamar masing-masing sedari tadi, kini tinggallah kami bertiga yang berjalan perlahan menuju calon kamar pengganti di gedung yang sama dengan kamar yang sebelumnya. Perlahan, namun pasti akhirnya Aku, Anna, dan Vania pun sampai di depan kamar 212. Kamar ini tepat berada di tengah-tengah koridor dan langsung terlihat ketika kaki ini tepat mendarat di anak tangga terakhir menuju lantai dua.


‘grekk’. Vania membuka pintu kamar ini dengan mengucap basmalah. Dan Ahlan Wasahlan, inilah kamar baru kami. segera kumasukkan semua barang-barang ke dalam kamar. Kunyalakan dua lampu utama kamar ini. hmm, syukurlah menyala semua. Kami pun segera bergegas memeriksa kamar mandinya. Terlihat sebuah kaca besar, dua wastafel, sebuah bathube lengkap dengan tirainya, dan sebuah shower dengan fasilitas air dingin dan panas. 

Oke, lumayan bersih. Tapi ternyata, tak lama setelah itu terjadi masalah kecil karena lampu kamar mandi kamar mandi kami padam. Yep, malam pertma kami disambut dengan padamnya lampu ini. tapi bukan masalah besar karena teknisi segera datang memperbaiki keadaan. Malam pertama ini kami lewati layaknya para siswa yang lain. bercerita sambil makan snack, menjaili teman dengan menelepon kamarnya, menonton acara televisi, tertawa bersama hingga akhirnya mengantarkan kami ke alam mimpi malam pertama di Yogyakarta. Namun esoknya, semuanya mulai terasa aneh (menurut kami)...

Senin, 25 Januari 2016

Saudara Kembar Kita

Dalam kehidupan fana ini, terkadang manusia melupakan ‘satu’ hal sakral yang seharusnya kita persiapkan sejak awal, sedari dini. Satu hal yang nantinya menjadi pintu gerbang yang akan mengantarkan kita menuju kehidupan yang lebih abadi setelah ini. secara teoritis, ‘sesuatu’ tersebut sangatlah dekat dengan kehidupan kita, bahkan hanya sejarak urat nadi dan pergelangan tangan. Dekat sekali bukan?  Kata guru tercinta, dia selalu menyertai dimana pun kita berada, terus mengintai kita kemanapun kaki melangkah. Sekuat apapun kita menghindar ataupun menjauhinya, tetap tak akan mampu menafikkannya walau hanya sedetik.


Namun dalam realitanya, gemerlapnya panggung sandiwara ini memang sedikit banyak telah menggelapkan mata-mata manusia akan kehadiran ‘sosok’ yang pasti akan mendatangi kita ini. Pasti. Cepat atau lambat, ‘ia’ akan datang sesuai titah Tuhannya. Menjeput kita—yang mungkin saja tidak pernah mengetahui dan menyadari bahwa sosoknya mungkin hanya sejengkal jauhnya dari ubun-ubun—untuk menuju kehidupan yang jauh lebih baqa setelah ini.  sudah sadarkah engkau siapa atau apakah sosok tersebut? Benar, itulah dia. Kau benar wahai manuisa. Tetapi jika jua belum mengerti, maka ingatkah engkau akan firman suci pemilik kerajaan langit dan bumi ini, “Kullu nafsin dzaaiqatul mauut...”—al-ayat

Ya, dialah ‘kematian’ wahai anak Adam. Sebagian orang pula menyebutnya sebagai ‘ajal’. Sosok itulah yang akan selalu terus bersama kita dimanapun dan kapanpun. Tentu banyak insan berakal di dunia ini yang mengetahui bahwa sesungguhnya pastilah jiwa lemah ini akan kembali ke sisi-Nya, bukan? Mulai dari kaum proletar hingga priyayi, apalagi mereka—kalangan yang berpendidikan, pastilah tau akan hal yang sejatinya memang tak dapat dicegah ini. kembali saya teringat akan tausiyah—yang lebih cocok saya sebut sebagai reminder atau pengingat—seorang syaikh di majlis pekan ini, beliau menuturkan bahwa sungguh kematian itu pasti adanya, dan sebagai manuisa yang pasti akan didatanginya, kita harus mempersiapkan hal tersebut. Dan bisa dikatakan, setidaknya kita harus mengingat akan relalisasi kedatangannya.

Lantas, mengapa pula kita harus repot-repot mempersiapkannya? Tentu pertanyaan ini terdengar retoris bagi kalangan yang sudah mengetahui dan paham betul perihal adanya konsep yaumul hisab dan yaumul jaza’-Nya. Bayangkanlah! Tatkala manusia kelak dicabut nyawanya seiring kematian itu menjemputnya, setelah mengalami proses yang bisa jadi mudah, namun tak sedikit juga yang merasa tersiksa tersebut, jiwa atau ruh manusia yang telah terpisah dari raganya tentu tak akan kembali lagi, lantas beraktivitas layaknya biasanya, bukan? –kecuali atas izin-Nya. Harta, tahta, pangkat, jabatan, keluarga, atau kenikmatan duniawi lainnya tentunya tidak akan terbawa ke alam yang terbatasi oleh pintu kematian tersebut. Tak ada yang berguna, tak ada yang terangkut atau tersangkut bersama ruh manuisa jika sudah berada di alam tersebut.


Oleh karena hal tersebut, sudah sepantasnya bahkan sewajibnya manusia harus mempersiapkannya sejak awal. Selain karena faktor adanya konsep kehidupan yang lebih abadi setelah ini, telah dijelaskan di awal pula bahwa kematian itu datang tak diundang. Menghampiri jiwa raga manusia yang telah dikehendaki-Nya, menjemput ruh yang seharusnya memang akan kembali lagi kepada penciptanya. Sudah gamblang bukan, jawabn atas pertanyaan yang mungkin terdengar agak retoris tadi. Selalu menyertai kita, tetapi kita tidak menyadarinya. Pasti kedatangannya, tetapi kita tidak tahu menahu kapan pula waktunya. Itulah mengapa kematian ini dapat kita panggil sebagai ‘saudara kembar’ kita, yang haruslah kita sambut kedatangannya dengan sambutan dan persiapan yang sebaik-baiknya.