Selasa, 11 Agustus 2015

Yang Terpencil, Yang Terlupakan

Roda-roda kincir air yang terbuat dari kayu itu masih terus berputar. Seakan tak pernah lelah menjalankan titah dari tuannya. Beberapa kincir yang lain kini telah berubah menjadi kincir baja dan logam. Semuanya berputar-putar di bawah kendali  dan instruksi orang-orang asing yang seakan tak peduli dengan sekitarnya.

Seorang wanita empat puluhan yang tengah duduk di atas kursi roda tersenyum miris menyaksikan semua itu. Ia sempat berpikir bahwa semua itu mungkn karena kesalahannya. Kesalahan yang tak mungkin bisa dicegah lagi. Ide yang kemudian dapat dengan mudah direnggut oleh bangsa lain yang akhirnya malah menjadikan warga sekitarnya menjadi menderita. Kemudian masa tiga puluh tahun yang lalu itu pun terngiang kembali.
***
“Rum, cepatlah sana kau pergi cari ranting di dekat sungai.” Teriak ibu dari balik kepulan asap di dapur.
“Sebentar bu, ini si Bei masih makan.” Jawabku sambil menyodorkan pisang ke dalam sangkar.
    Tak lama kemudian, aku pun beranjak dan bergegas menuju halaman belakang untuk mengambil dua ikat tali. Ku telusuri jalanan setapak depan rumahku yang menghubungkan rumahku dengan jalanan yang agak lebar yang ada di depan sana. Walaupun sudah agak siang, udara di kampungku ini selalu saja seperti ini, sejuk selalu. Wajar saja karena kampungku ini memang berada di kaki gunung Cemaru.

    Ketika dalam perjalanan menuju sungai, mataku sempat melirik beberapa ladang warga yang kini sudah mengering. Seakan-akan seperti sudah tidak ada pemiliknya lagi.
Keadaan sungai ini memang sangat memprihatinkan. Batu-batu besar yang biasanya tidak terlihat pun, sekarang bermunculan dan nampak jelas tersebar di sungai beluntas ini.

“Apa kubilang? Benar kan tak ada air? Namamya kekeringan, pasti di sungai pun tak ada air.” Ucap Edo yang sedari tadi memperhatikan raut wajahku.
Aku hanya terdiam, enggan menjawabnya. Karena bagiku hal ini sangatlah aneh dan sangat bertentangan dengan apa yang ada dalam pikiranku.  Tanpa banyak kata, aku pun langsung mengambil ranting-ranting kering sepanjang sungai. Setelah tiga ikat ranting terkumpul, aku bergegas pulang ke rumah. Begitu juga Edo, ia langsung mengikutiku tanpa berbicara apapun.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju dapur dan mendapati ibu yang sedang mengipasi nyala api yang masih tersisa.
    “Ibu, maafkan Rum ya. Karena Rum, ibu jadi repot seperti ini.” Kataku seraya meletakkan kayu di dekat karung beras.
    “Tidak apa-apa nak. Ibu sudah terbiasa seperti ini” Ucap ibu sambil mengusap peluhnya.
Setelah nyala api kembali membesar, aku langsung membantu ibu memasak kue kukus untuk dijual nantinya. Kue kukus buatan ibu cukup terkenal di kampung ini, bahkan hingga kampung seberang. Beberapa menit kemudian, pekerjaan di dapur pun akhirnya selesai. 

    “Akhirnya selsesai juga Rum. Ayo kita makan! setelah itu, ibu mau menjajakan kue ini. Kamu jaga pakaian ya, siapa tau hari ini turun hujan.” Ibu berkata sambil membawa tanakan nasi menuju meja makan.
Aku tahu bahwa hal itu, maksudnya hujan itu tidak akan turun hari ini. Bahkan untuk seminggu kedepan pun.
Tiba-tiba aku ingat beberapa ladang yang mulai mengering dan terlihat bagaikan ladang yang tak bertuan ketika aku berjalan menuju sungai.
    “Ibu, kenapa orang-orang membiarkan ladang mereka mengering?” tanyaku ketika ingin mencoba membuka percakapan.
    “Air memang sedang tidak ada Rum. Mana mungkin orang- orang itu mau berjalan berkilo-kilo meter jauhnya hanya untuk ladang yang mungkin akan kering lagi?” jawab ibu santai.
    “Tapi bu, kita kan tinggal di daerah pegunungan, “ aku pun membela
    “Bukan pegunungan,” ibu menyela omonganku tanpa menatap ke arahku.
    “Iya maksud Rum di lereng pegunungan. Bukannya mudah menemukan mata air?” ucapku sambil mencomot tempe goreng di hadapanku.

    “Ya kalau soal itu kita tidak tahu. Yang kita tahu hanya beberapa sungai mengering, kemudiaan mata air pun hanya ada sedikit air. Itu saja” Jawab ibu dengan lembut.
Mulai hari itu, aku pun mulai berpikir. Berpikir mengapa daerah ku ini dilanda kekeringan seperti ini. Beberapa warga pun tak luput dari pertanyaan-pertanyaan ku. Hari demi hari, keadaan disini memang semakin sulit. Tapi aku bingungnya, kenapa juga tidak ada relawan atau orang dari luar sana yang memberikan bantuan kepada kami? Sebegitu terpencilkah kampungku ini? Aku harus tahu, kenapa semua ini bisa terjadi. Namun temanku, Edo, sepertinya tak terlalu mengindahkan ataupun mendukung apa yang aku lakukan.
    “Eh bagaimana kalo kita minta dana ke lurah untuk melakukan penelitian ini? Kalau memang berhasil, kita bisa menyelamatkan nasib warga disini Do.” Ucapku bersemangat.
    “Sudahlah Rum. Orang-orang sudah terlanjur putus asa. Mungkin tak lama lagi mereka akan pindah dari kampung ini.” Ucap Edo merendahkanku
    “Tapi,
    “Tapi apa? Termasuk orangtuaku. Karena tiga hektar kebunnya kini mengering. Mungkin satu minggu lagi kami akan pindah ke daerah lain. Atau lebih tepatnya, kami akan pergi ke kota. Mengundi nasib disana. “ Jelas Edo panjang lebar dengan suara tak seperti biasanya.
    “Asal kau tahu Rum, kehidupan di kota itu enak, semuanya serba ada. Listrik ada, air berlimpah. Bahkan internet pun ada.” Edo berkata sambil tersenyum dan menerawang jauh kedepan.
Aku hanya terdiam tanpa memandangnya.
    “Terakhir kali aku ucapkan padamu, terserah apa yang akan kamu lakukan. Tapi maaf kali ini aku tidak bisa mendukungmu. Aku sadar Rum, kita masih anak kecil. Mungkin kita masih dianggap anak ingusan yang belum tahu apa-apa.”
Ia menarik nafas kemudian mengeluarkannya hingga terdengar olehku.
    “Doakan aku dan keluargaku ya agar bisa hidup bahagia di kota. Begitu juga aku yang akan selalu mendoakanmu.” Ucap Edo mantap sambil menepuk bahu kananku.
Aku hanya bisa mendengarkannya. Memang di kampung kami ini, Semuanya serba kurang. Listrik pun hanya seminggu sekali adanya. Jalanan semuanya masih beralaskan tanah. Akses keluar juga sangatlah susah. Berbeda sekali dengan keadaan di kota. Memang benar kata Edo, kehidupan disana pastilah lebih menyenangkan.

Dengan hati sedikit gundah, aku pun berjalan pulang. Sampai didepan rumah pak lurah, aku dikejutkan dengan kerumunan orang yang menenteng beberapa tas. Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Apa yang akan mereka lakukan? Mengapa terparkir beberapa mobil juga? Tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba ibu paruh baya yang menggendong seorang anak melintas di hadapanku.
    “Ibu maf mau tanya,” aku pun menghentikan langkahnya
    “Sebenarnya ada apa ya bu kalau boleh tau? Kenapa orang-orang berkumpul disana sambil membawa tas?” tanyaku sopan.
    “Oh itu. Ini nak, kami mau pindahan ke kota. Kata pak lurah, kampung kita mungkin sudah tidak layak untuk di tempati. Semuanya sudah kering. Makannya hari ini kita mau pindahan.” Kata ibu itu terburu-buru.
    “Oh begitu, ya sudah hati-hati ya ibu.” Jawabku yang tak mendapatkan jawaban darinya.
Aku pun langsung mempercepat langkahku menuju ke rumah. Takut kalau orangtuaku ternyata juga akan melakukan hal yang sama dengan orang-orang itu.
“Bapaak, ibu kalian masih di rumah kan?” teriakku sembari membuka pintu depan.
“Kenapa kau ini? Tidak harus teriak-teriak kan?” bapakku dengan santainya membaca selembar koran di ruang tengah dengan kaca mata kesayangannya.
“Maaf pak. Rum kira bapak sama ibu juga siap-siap pindahan.” Kataku lega.
“Kenapa harus pindah Rum? Ini tanah kelahiran ibu dan bapak. Kami sudah paham keadaan kampung ini.” Ibu pun ikut berbicara sambil keluar dari kamar seraya bergabung dengan aku dan bapak.
“Maksud ibu?” tanyaku polos.
“Ya maksudnya bapak sama ibumu ini sudah tau kalau kekeringan ini bisa diatasi. Walaupun terpencil, kampung kita ini sebenarnya punya banyak potensi dan kekayaan. Kalau dimanfaatkan mungkin kekeringan ini tidak akan terjadi.” Ibu mulai membuka percakapan.
“Benar kata ibumu Rum. Sebenarnya lahan kita yang masih alami dan belum tercemar ini banyak yang belum termanfaatkan.” Bapak menambahkan.
Memang benar kata bapak dan ibu, kampungku ini memang  masih sangat alami.  Hutan masih berpohon tinggi, sungai masih kaya akan bebatuan. Apapun yang ditanam pun akan berbuah. Tapi mungkin karena terpencil, hanya beberapa orang lah yang tahu akan hal ini.

    “Lahan kita sangatlah luas, pegunungan kapur di seberang sana masih menjulang tinggi. Itu baru yang tampak dilihat mata Rum. Belum lagi yang masih terpendam di dalam tanah. Bisa saja di dalam sana terkandung kekayaan yang melimpah jika digali dan dimanfaatkan secara benar.” Bapak menjelaskan panjang lebar dengan raut muka serius.
Aku mulai berpikir dan mungkin baru juga tersadar kalau bapakku ini ternyata tahu menahu dalam hal seperti ini.
    “Tapi kenapa pak lurah tidak pernah mengatakan hal-hal seperti ini pak?”
    “Haha, asal kau tahu saja orang-orang yang berpangkat atau para pejabat seperti itu tidak akan memperhatikan hal kecil semacam itu. Uang dan kedudukan lah yang mereka ingikan. Selebihnya mungkin hanya beberapa orang yang berusaha peduli seperti kita ini yang memperhatikannya.” Ucap bapak sambil tertawa miris.
    “Kalu begitu bapak saja yang langsung memberitahukan kepada warga.” Kataku.
    “Apalagi warganya Rum. Kepala warganya saja tidak peduli. Bagaimana dengan warganya sendiri. Seandainya diantara mereka ada yang tahu juga, kemudian melaporkannya kepada lurah, mungkin hal itu akan dianggap angin lalu saja.”
    Tapi tiba-tiba aku teringat artikel di koran yang beberapa hari lalu aku baca di beranda. Menurut artikel itu, bapak kepala negara akan menggalakkan semacam program untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Program itu akan dimulai dari daerah terpencil, kemudian dilanjutkan ke desa-desa. Aku pun langsung menanyakannya pada bapak
    “Bapak, apakah Pak Presiden akan peduli tentang hali ini? Maksud Rum bukan hanya peduli tentang bencana yang melanda kampung ini, tetapi akankah beliau peduli tentang potensi yang kita miliki?” tanyaku penasaran.
    “Kalau masalah itu, bapak kurang tahu. Mungkin karena saking terpencilnya kampung kita ini. Jadi mungkin mereka akan peduli atau tidak itu urusan orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan. Tapi kalau dipikir, lurah saja yang hanya memimpin wilayah yang kecil saja kurang peduli. Apalagi seorang kepala negara?”
    “Paham kan maksud bapak?” tanyanya sambil melanjutkan membuka korannya.
    “Iya pak, Rum paham kok.” Kataku sambil membayangkan orang-orang berdasi yang dimaksud bapak.
***
    Setelah beberapa hari percakapanku dengan bapak. Aku pun semakin geram dan semakin ingin melakukan sesuatu untuk menjadikan kampungku ini menjadi lebih baik. Tapi lagi-lagi aku teringat kata Edo, aku memang masih anak ingusan. Umurku baru enam belas. Namun aku kini semakin sering pergi berkeliling di kampung ini. Beberapa rumah warga telah kosong. Begitu juga rumah Edo. Sekarang aku sedang berdiri di puncak bukit, menatap sekitar. Namun aku rasa ada yang aneh dengan ini, di sebelah utara bukit ini, tepatnya kampungku terlihat sangat berbeda dengan keadaan di sebelah selatan. Lahan disana sangat hijau, ya hijau. Bahkan sungai disana sangatlah lancar, mata air terlihat sangat bersemangat mengeluarkan airnya.
Karena takjub, aku pun segera berlari menuju rumah dan melaporkan hal ini kepada bapak dan ibuku.

    “Bapak, ibu, Rum melihat sungai yang sangat melimpah airnya di seberang bukit. Tapi bukannya seberang bukit sana tak berpenghuni?  Bukannya ini aneh, pak?” kataku bersemangat.
    “Benarkah Rum? Sebentar, lebih baik kamu duduk dulu.” Ayah menyuruhku duduk dengan raut muka yang mulai berpikir.
    “Bagaimana kalau kita mengalirkan airnya ke sungai kita juga pak? Kita buat terowongan yang menghubungkan dua sungai itu?” ucapku mengalir begitu saja.
    “Benar juga kau Rum, sebenarnya sungai kita tidak terlalu membutuhkan banyak air. Tapi akan lebih baik lagi jika kita menghubungkan keduanya. Siapa tahu arus akan lebih deras, kemudian bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain lagi?” bapak berkata penuh semangat.
    “Iya pak, bahkan kalau bisa Rum akan mencoba membuat desain kincir air dan saluran irigasi untuk ladang warga, bagaimana pak?”
    “Memangnya kamu bisa?” tanya bapak
    “Bisa dicoba dulu pak, soalnya waktu SMP Rum pernah diajari membuat replika kincir air.” Kataku penuh percaya diri.
    “Kalau begitu, ayo kita kerjakan sekarang.” Bapak kini sudah berdiri dengan pose siap siaga.
    “Tapi pak, bukannya warga disini sudah banyak yang bermigrasi ke kota? Tapi. Memang kita bisa memanfaatkan beberapa warga yang masih tertinggal sih. Tapi setahu Rum, membuat terowongan itu nggak mudah kan, pak?”
    “ Hmm, benar juga katamu. Lagi-lagi semua ini karena keterbelakangan.”
    “Maksud bapak?” tanyaku tak mengerti.
    “Karena kita hidup di daerah yang terpencil, semuanya serba ketinggalan. Bahkan keterbelakangan. Yang paling utama keterbelakangan teknologi. Coba saja ada teknologi yang canggih, mungkin membuat terowongan semacam itu saja mudah Rum.”
    “hmm, Tapi jika kita sungguh-sungguh dan bersemangat, bisa kok dengan menggunakan peralatan seadanya. Jadi ayo kita kumpulkan warga dulu.” Ucap bapak yang seketika langsung melesat untuk mengumpulkan warga.

    Ibu pun langsung mengikutiku dan warga untuk menuju bukit, kemudian menyeberang untuk menuju sungai seberang. Sulit memang tapi karena hari masih pagi, kami semua pun bersemangat. Peralatan telah terkumpul, semangat telah membara, dengan ditemani sekitar dua puluh orang warga aku dan ayah pun dengan semangat memulai membuat terowongan.
    “Apakah kita benar-benar akan berhasil pak? Kenapa kita tidak bilang saja ke bapak presiden? Atau menunggu sampai beliau membangunkan saluran untuk kita?” Beberapa orangtua bertanya-tanya di tengah kesibukan ini.
    “Kalau menunggu pejabat, ya mau sampai kapan kita akan maju. Kita berusaha dulu lah bapak-bapak. Sambil berdoa juga semoga ini semua berhasil.” Kata bapakku menyemangati yang lain.

    Butuh waktu kurang lebih seminggu kali delapan jam untuk menyelesaikan proyekku dan bapak ini. Namun akhirnya airpun mengalir dengan derasnya, para warga pun bersorak gembira akan keberhasilan ini. Kini saatnya aku membuat desain kincir air menurut pengetahuan yang sudah aku kantongi sewaktu SMP. Dengan dibantu bapak dan beberapa orang, kincir air ini pun akhirnya selesai. Ternyata kincir ini lebih besar dan lebih kokoh dari ekspektasi yang aku bayangkan.
    Kami pun memasangnya tepat di bagian sungai yang mempunyai arus yang paling deras. Kincir pun terpasang dengan megahnya. Kincir ini terlihat megah walaupun hanya terbuat dari bambu. 

    “Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu kini kampung kita insyaallah tidak akan kekeringan lagi. Kincir sudah terpasang lengkap dengan sistem irigasinya. Saatnya kita peduli akan potensi yang kita miliki. Biarlah orang-orang atas sana kurang memperhatikan kita, tapi yang penting kita masih bisa bertahan hidup. Betul pak?” tanya bapakku kepada warga yang kini bermandikan keringat karena terlalu capai dua minngu telah bekerja.
    “Betul, betul....” warga pun bersahut-sahutan menjawab.
    “Bapak, terima kasih ya telah mendukung Rum. “ kataku sambil tersenyum haru.
    “Ya Rum, semua ini berkat kerja keras kita semua. Kalau sudah begini, kita tidak perlu susah-susah memikirkan orang-orang yang berjas dan berdasi kapan mereka akan memperdulikan kita.” Kata bapak bijak.
    “Tapi Rum masih penasaran juga tentang potensi tambang yang mungkin kita miliki pak.” Kataku penuh selidik.
    “Sudahlah Rum, ini saja dulu. Masalah itu kita tunggu dulu atau lebih tepatnya kita rancang beberapa tahun lagi steelah kamu sudah nggak jadi anak ingusan lagi.” Kata bapak sambil mengacak rambutku.
    “Bapak.....” kataku cemberut.
***
    Namun, sekitar enam bulan setelah peristiwa itu. Ternyata kehidupan kami berubah. Beberapa  warga yang dulu memilih bertransmigrasi, kini sudah kembali. Tapi bersamaan dengan kembalinya warga tersebut, ternyata masuk pula beberapa orang asing yang mulai melakukan sesuatu pada kampung kami ini. Mereka mengatakan dan membujuk kami untuk melakukan kerjasama. Mereka mengatakan akan menggali dan menemukan kemudian memanfaatkan kekayaan yang kami punya. Para warga pun akan diberi bagian yang memuaskan. karena pak lurah menyetujuinya, akhirnya  mereka pun mulai bekerja.

Aku pun heran melihat semua ini. Kenapa harus orang asing yang menguasainya.
    “Pak lurah, kenapa bapak mengizinkannya? Padahal bagian yang kita dapatkan itu kurang setara dengan sumber daya yang kita berikan kepada mereka?” tanyaku suatu siang kepada pak lurah ketika beliau sedang berjalan melintasi rumahku bersama dengan seorang bule berkaos putih.
    “Huussh, kau ini anak kecil jangan mencampuri urusan seperti ini. Kampung kita akan kaya kalau bekerja sama dengan orang luar negeri.” Katanya sambil berlalu.
    Aku pun hanya terdiam, aku juga langsung menanyakannya pada bapak. Namun beliau juga mengatakan hal yang agak sama dengan jawaban sekitar enam bulan lalu. Mungkin ini semua karena kita memang agak terlupakan oleh pemerintah pusat.

    Semakin hari semakin banyak kendaraan asing yang keluar masuk kampung ini, beberapa bangunan baru juga didirikan di lahan yang dulunya hijau. Namun hal yang paling membuatku geram adalah kincir-kincir air buatanku dan warga kini malah katanya akan dimanfaatkan untuk keperluan lain lagi. Katanya untuk pembangkit listrik. Itu kan ideku? Kenapa dengan mudahnya diambil mereka?
    “Bapak, kincir air kita...” kataku murung di suatu malam kepada bapak.
    “Sudahlah Rum, mereka memang sudah tidak bisa dicegah lagi. Pertambangan juga mulai dibangun disekitar hutan sana. Apa kata bapak? Daerah ini memang banyak potensinya, tapi kalu sudah terlanjur jatuh di tangan orang lain. Ya apa yang bisa kita perbuat kalau pemimpinnya saja menyetujui.” Jelas bapak kepadaku.
    “Tapi kata pak lurah, kampung kita akan kaya kalau bekerja sama dengan orang asing.” Aku berkata sambil terbingung.
    “Hahaha, lagi-lagi kau salam paham nak. Yang dimaksudkan kaya disini hanyalah orang orang pemerintahan saja. Tapi warganya mungkin hanya sedikit sekali mendapatkan bagian. Atau mungkin saja tidak.” Jelas bapak dengan mata menerawang.

    Aku hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan yang sangat menyesakkan dari bapak. Tapi memang benar, semakin banyak kekayaan kami yang digali, semakin banyak potensi yang direnggut orang asing, tetapi kehidupan kami tetaplah seperti ini saja. Malah bisa dibilang keadaan lingkungan mulai memburuk. Tapi apa yang bisa kami lakukan?

Copyright @ Rodhiyah N.Zulaikhoh
17/09/98

Tidak ada komentar: