Selasa, 24 Februari 2015

Renungan~Penuh Rasa #3

Kubuka mataku setelah lelah mengalirkan air mata penuh rasa. Ternyata gumpalan awan hitam pekat tadi sudah tiada, sepertinya semua yang hitam tadi sudah sepenuhnya berjatuhan ke bumi ini atau mungkin sudah berpindah ke tempat lain karena tiupan kuasa-Nya. Ya, cakrawala mataku sudah kembali membiru. Biru yang anggun. Sejuk. Angin mulai berembus lembut dan perlahan. Hamparan rumput hijau yang tadinya basah kuyup dan pasrah akan terpaan bulir hujan yang menimpanya kini mulai mengering. Melihat semua ini, aku mulai heran sekaligus takjub, juga bingung. Tuhan, betapa bersahajanya segala ciptaan-Mu ini, tak pernah berkomentar sedikit pun dengan segala takdir yang telah digariskan untuknya. Yang ada, mereka malah selalu bersenandung mengingat-Mu.

Renungan~Penuh Rasa #2

Titik-titik air pun semakin deras turun. Seakan titik-titik air itu sedang berlomba siapa yang bisa paling cepat menyentuh permukaan bumi dan bertemu dengan temannya yang lain yang sudah menunggu di samudera sana. Semakin deras hujan turun, semakin dingin pula yang aku rasakan saat ini. Tak terasa air mataku pun mengalir lembut menuruni wajah bersamaan dengan mengalirnya air hujan yang dingin ini. Namun, tiba-tiba kegelisahan mulai menyerangku, kekhawatiran mulai memenuhi pikiranku. Takut. Bayangan kehidupan yang jauh lebih abadi setelah ini mulai muncul. Aku tahu dan memang sepatutnya bagi siapapun harus tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah tempat bersinggah. Dengan kata lain, dunia ini adalah kehidupan yang fana. Tapi keraguan ternyata tak mau kalah menyerangku. Aku pun mulai ragu, mampukah diriku yang sungguh kecil, lemah, dan tidak ada apa-apanya ini mampu menjalani kehidupan yang sudah jelas dan sudah pasti akan terjadi itu? Entahlah. Hanya Dia yang tahu.

Minggu, 22 Februari 2015

Renungan~ Penuh Rasa #1


Langit suram yang dipenuhi awan hitam terbentang luas di atas sana. Beberapa kilatan cahaya pun mulai muncul yang kemudian segera disusul dengan suara guntur yang menggelegar memekakkan telinga. Ku tatap semua itu dengan tenang. Aku terpesona dengan semua fenomena ini. Kagum. Tak lama, titik-titik air mulai berjatuhan mengenai kepalaku. Dingin. Aku pun tersenyum, bukan senyuman mengejek pastinya. Sungguh tak pantas jika makhluk sekecil dan selemah diriku ini memberikan ejekan kepada pembuat jagat raya ini yang sungguh agung dari yang paling agung. Namun,  Lebih tepatnya, senyum karena aku merinding dengan semua peristiwa alam ini. Kejadian dan fenomena yang Maha Besar karena semua terjadi karena kuasa dan kehendak-Nya. Dan bahagianya aku bisa merasakan semua ini secara langsung.


Bersambung....